Thursday, October 05, 2006

when they said "i miss you..."

Sebulan terakhir ini, kalimat pendek dengan tiga kata itu, bagi gue merupakan suplemen tambahan, suntikan semangat, dan motivasi tak terduga.

Ketika jarak adalah hambatan utama. Ketika waktu juga menjadi tantangan. Apa yang dirasa tak bisa disangkal. Dulu, selalu nampak, selalu terdengar, dan selalu dapat dirasa. Tapi ketika saatnya tiba, semua harus berubah. Dan yang biasa di lihat, di dengar, dan dirasa itu tak lagi ada.

Terimakasih kepada para tehnokrat yang menyatukan kami kembali. Mereka yang berotak canggih itu berhasil ’mendekatkan’ kami meski sebenarnya jarak terpaut ribuan mil.

I miss you. Sakral sekali bunyinya. Sama sakralnya dengan I love you. Tapi mungkin kalimat kedua itu rasanya terdengar basi kalau memang tidak benar-benar ingin diucapkan.

I miss you. Kekuatannya tak bisa diraba. Kau bisa tersenyum sesaat setelah membacanya sedetik. Bisa bersemangat seharian, meski membacanya hanya sekilas. Ajaib. Dan ketika membacanya, kamu benar-benar memikirkannya. Membayangkan ekspresi wajahnya saat menuliskan kalimat itu. berharap dia juga mengingat wajah kamu saat membacanya.

I miss you. Sebuah luapan perasaan yang kuat. Saat kamu menuliskannya, kamu pasti berharap bisa memeluknya saat itu juga.

When I just keep waiting

Gue membaca, mendengar dan menyadari sendiri.. bahwa rata2 orang itu paling ngga suka untuk menunggu.

Begitukah? Begitu ga sabarkah mereka? Gimana kalo yang hanya mampu kita lakukan hanyalah ‘menunggu’? gimana juga kalo ‘menunggu’ adalah satu2nya pilihan paling tepat?

Ketika ‘menunggu’ bagi gue adalah sebuah pencarian harta karun. Akankah orang2 mengerti? Mereka bisa saja melihat gue ‘hanya menunggu’ ‘pasrah’ ‘tanpa usaha’. Tapi mereka ga tau yang sebenernya gue lakukan. ‘menunggu’ hanya nampak di permukaannya saja. Dalamnya, gue melakukan riset besar-besaran, melakukan penelusuran, dan investigasi tak kasat mata. (Hahahaha.. disaat gue ingin melantur, gue mencoba melantur dengan bahasa canggih ala nnisa)

Kadang gue berpikiran. Daripada merusak apa yang udah ada. Daripada mengacak-acak ‘peradaban’ yang udah terbentuk, meski tak karuan dan tak terasa adil, maka untuk berubah mungkin hanya bisa untuk menunggu.

Aje gila.. ini nih yang gue bilang kalo seorang John Mayer bisa membuat orang2 yang denger lagu dan liriknya seakan terdoktrinasi dan terinspirasi. Waiting on The World To Change bukan cuma sebuah prosa putus asa ala John Mayer. Toh, gue amat sangat mengerti kenapa dia sampe bikin lagu dengan lirik seperti itu.

Dan dari pembicaraan gue sore tadi dengan seorang teman lama, gue pun mulai mengenal diri gue lagi.
Bahwa gue emang sedang menunggu.
Menunggu banyak hal. Menunggu banyak orang. Menunggu banyak keajaiban.